Rabu, 29 Mei 2013

Pergilah Kau (Sherina)

dari kemarin mengalun terus lagu ini di kepala.

Pergilah Kau
(Sherina)

Tak mau lagi aku percaya
Pada semua kasih sayangmu
Tak mau lagi aku tersentuh
Pada semua pengakuanmu
#
Kamu takkan mengerti rasa sakit ini
Kebohongan dari mulut manismu

Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah semua rasa bersalahmu
Pergilah kau
Pergi dari hidupku
Bawalah rahasiamu yang tak ingin kutahui
Tak mau lagi aku terjerat
Pada semua janji-janjimu
Tak mau lagi aku terkait
Pada semua permainanmu

Bertahun-tahun bersama
Kupercayaimu
Kubanggakan kamu
Berikan s’galanya
Aku tak mau lagi
Ku tak mau lagi huoo… Yeee…Hee…

Pergilah kau
Tak ingin kutahui
Pergilah kau
Ku tahui

Selasa, 28 Mei 2013

Another Memory


Pantai Bama (Baluran)
Katanya kamera terbaik adalah mata manusia. Kameranya masih bukan apa-apa. Memori terbesar adalah otaknya. Aku tidak mengerti maksudnya. Terkadang memang sulit memahami apa yang dia katakan. Lebih mudah bagiku memahami hasil karyanya. Foto-foto dari kamera yang dianggapnya sebagai caranya menyimpan kenangan. dari tiap tempat yang akhir-akhir ini kita datangi.

Selesainya kami jalan-jalan satu hal yang selalu dia lakukan. Membersihkan kamera kesayangannya. Hati-hati. Ditiup-tiupnya. Dibuka. Ditutup. Anggapnya seperti dewa kamera itu. Lihat saja matanya. Merah dan mendamba kasur dihadapnya. Tapi masih saja dia mengambil tissue. Lalang saja aku melihatnya. Lalu aku hanya pintas dan langsung membuka laptopku.

Sesekali aku meliriknya. Sedang menghamba dia bersama kamera itu. Katanya dulu, “ini salah satu otakku” Otak apa? Tanyaku. Otak bagi orang lain. jawabnya. Dan aku hanya diam. Tak tau apa maksudnya. Ah,,dia selalu sulit menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya. Ku lirik lagi dia, sudah berganti memindahkan fotonya, sesekali memandangku. Matanya berkata. “APA??”. Kalau sudah begitu, kembali lagi aku pada laptopku. Aku melanjutkan paragrafku tentang perjalanan kami hari ini. mencoba mengingat-ingat hamparan pohon dan bau udara yang begitu khas menusuk hidungku. Menulisnya dan menulis. Hingga kami akhirnya semakin larut akan kegiatan kami masing-masing.
 ***
Siang ini setelah sampai kota kelahiran rasanya selalu sama. Langsung ngantuk. Pengennya nyentuh kasur. Tidur. Tapi lupa saja kalau kamera masih kotor. Apalagi nyonya di seberang sana juga sama saja. Langsung berkutat dengan laptop kesayangannya. Tangannya bergerak berirama. Seperti kaki laba-laba. Hahah,,,lima-lima. Semua bergerak. Dasar. Tidak akan kalah aku.

Masih saja debu-debu ini lekat menempel. Ini juga batu kecil masuk ke sela-sela tutup kamera. Sudah dibuka tutup tetap saja tak mau keluar. Argh. Sudahlah kutiup juga. Masih saja tak bisa keluar. Ayolah. Sesekali kulirik dia. Matanya melirik keatas. Seakan mengingat sesuatu. hahah.lucu sekali wajahnya. Membuatku semakin menyukainya.

Kali ini aku mendapat 204 gambar. Belum begitu puas, masih ada beberapa spot yang belum kudapat. Kemarin memang harus mengejar subuh dan menunggu keajaiban. Keajaiban warna daun yang berubah biru. Tapi sayang ternyata harus lebih pagi lagi. Dan kami harus pulang siangnya. Nyonya itu tak mau bermalam sekali lagi. Apalah yang kubisa tolak darinya. Fotonya juga sudah banyak dikameraku. Hehe.

Foto-foto ini adalah otakku dan otak untuk orang lain. tiap kali aku menjelaskan padanya. Dia selalu bingung. “Kau ini. Susah.” Hahaha..memang susah benar aku ini merangkai kata. Beda dengannya yang dengan mudah menulis. Apalagi bicara. Ah suaranya. Selalu bikin kangen. Lihatlah dia sekarang. Melirik-lirikku dari seberang. “APA??” jawabku lewat mata. Aku tau dia selalu ingin kuperhatikan. Pandangnnya langsung pindah di laptop putih pacarnya itu. Tangannya? Lihatlah berubah jadi kaki laba-laba lagi. Lima-lima. Semua. Sudahlah. Akhirnya kami larut dalam dunia kami masing-masing.
 ***
Akhirnya kami menikah. Setelah dia dengan romantisnya memberiku sebuah album foto. Foto ketika kami jalan-jalan, foto ketika aku bahkan tak tau dia membawa kamera. Dan selalu begitu. Fotonya berbicara. Tak harus ku tunggu dia bicara. Aku sudah bisa melihatnya berkata dalam foto yang dia berikan padaku.

Kubuka lembaran pertama. Dia perlihatkan dirinya berdiri mematung di sebuah museum. Kalian tau. Itu museum dimana kami pernah bertengkar hebat. Ya..kala itu dia mencoba bercanda. Mencoba menghapus tulisanku. Dan akhirnya benar-benar hilang. Semua.

Lembaran berikutnya adalah foto-foto kalimat permintaan maaf. Kalian tau, dia mengemasnya pada hal-hal yang ingin aku dapatkan. Pulpen tinta coklat. Tiket konser Afgan. Dan cincin bergaris merah. Dan semua barang-barang itu kudapatkan secara bertahap. Pulpennya setelah kami bertengkar. Tiket Afgan saat aku sembuh dari penyakit akibat nyamuk di daerah timur Indonesia. Yang membuatku tak bisa bergerak selama 2 minggu. Dan cincin bergaris merah. Kudapatkan setelah lembaran terakhir album foto ini hampir kututup.

Lembaran berikutnya memperlihatkan tempat-tempat yang pernah kami kunjungi. Aku tenggelam. Ingatanku bermain-main membelah Indonesia dan negara-negara tetangga tanpa terkecuali. Rumah, kamar, ruang tamu dan pohon kelapa belakang rumah. Aku seolah-olah diajak berkelana kembali bersama foto-fotonya.

Dan dilembaran terakhir kulihat dia kembali mematung. Bukan lagi karena pertengkaran di museum. Tapi dia mematung membawa kotak dan cincin bergaris merah. Tersenyum dan bicara. Lewat fotonya dia bicara. “Will you marry me?”. Dan seketika aku menangis. Semua ingatanku kembali.
 ***
Sekarang aku bisa mengajaknya tersenyum. Setelah 2 bulan kemarin bahkan mengingat namakupun dia tidak bisa. Dan kita sekarang bisa tersenyum bersama. Di hari sakral pernikahan kami nanti, 2 minggu lagi.

Tak ku sangka. Tulisan yang selama ini dia buat adalah tentang kami. Bagaimana dia selalu mencari perhatianku. Memperhatikanku. Aku sudah tahu Alya. Tapi betapa bahagianya aku tahu bahwa novel pertama yang siap kau terbitkan sesaat sebelum kau lupa ingatan adalah tentang sebuah rasa. Rasa yang tak bisa kutangkap dengan kamera macam apapun. Aku berterimakasih dan sangat senang. Ketika setiap bab dalam novelmu menceritakan rasa itu. Rasa ketika degup jantungmu semakin meningkat iramanya. Rasa ketika mata kita bertemu sesekali. Rasa ketika bahkan kau tak mau melihat dan menemuiku berhari-hari. Terimakasih Alya. Kita ternyata mempunyai rasa yang sama. Sekali lagi. Rasa yang tak dapat kutangkap dengan kameraku. Dan ternyata tertuang dalam tulisan-tulisanmu.
 ***
Sekarang aku tahu. Arti kata-katamu dulu. Saat aku sering bertanya. Dan kau jawab “Kamera adalah otakku bagi orang lain.” Ya,,ternyata dia memberiku jutaan ingatan yang sempat hilang. Tentang semua. Dan tentangmu

Alya & Bara
27 Mei 2013

teman