Selasa, 24 September 2013

Pilihanmu



Akhirnya hari itu datang juga. Hari yang sangat ingin kuhindari. Hari dimana sebuah pilihan diambil. Kita selalu memilih. Tentu saja denganmu yang kala itu memilih untuk mengatakan tidak bisa. Ya, sahabat wanitaku telah memilih.

Pertemanan kita sudah empat tahun. Kita sudah tahu luar dalam. Bahkan yang mungkin tidak diketahui keluargaku. Tiap hari kita bercerita, tiap hari kita bersama. Bisa dikata separuh hidupku diusia akhir belasan hingga awal duapuluhan kulalui bersamamu. Sampai pada hari itu aku sadar. Aku harus mengalah pada sebuah pilihan.

Aku punya teman laki-laki. Teman yang baru kukenal beberapa minggu saja. Dari sebuah komunitas sosial. Dengan segala sifat buruk yang melekat pada dirinya pada dasarnya dia orang yang baik. Aku mengenalkannya pada sahabat wanitaku. Dan tentu saja kita jadi sering jalan bersama. Bertiga.

Orang-orang mengira aku menyukai lelaki itu. Hanya karena dia satu-satunya laki-laki yang sering menjemputku di tempat kerja dan sering main ke kosan. Tanpa mereka tahu aku sedang menjodohkannya dengan sahabat wanitaku. Awalnya wanita ini menolak. Katanya lelaki itu terlalu keras kepala. Sama sepertinya. Dia juga merasa lelaki ini menyukaiku. Ku yakinkan dia. Bahwa dia lelaki baik-baik. Tapi itu malah membuatnya semakin yakin kita berdua cocok.

Seiring berjalannya waktu tanpa kuketahui mereka sudah jalan dua kali. Aku kaget saat mendengar ceritanya. Bahagia karena semuanya semakin jelas adanya. Kau bercerita hampir tiap hari. mengetok kamarku malam-malam hanya untuk bercerita bahawa hari ini kalian SMSan. Menceritakan betapa bahagianya dirimu saat tau dia mulai tertarik padamu. Kau jadi berkali lipat mendatangi kamarku yang selalu terbuka untukmu jam berapapun. kaupun sudah tak sungkan bercerita padaku tentangnya, yang dulu kau kira aku dan dia saling menyukai.

Hingga pada suatu hari aku mendapat pesan singkat dari seorang teman bahwa kalian berdua jadian. Aku tak percaya secepat ini. Walau memang aku tahu kalian sama-sama serius dengan hubungan belakangan ini. Mereka berdua memang selalu bercerita kepadaku. Namun yang paling aku sayangkan adalah aku tahu dari orang lain. Itu sudah membuatku agak kesal. Tapi aku tahu bahwa pasti ada alasan dia memberitahuku belakangan.

Beberapa minggu berselang. Aku merasa ada yang hilang. Ada bagian dari tubuhku yang mencari-cari sesuatu. Melihat kalian berdua pergi bersama membuatku menjadi cemburu. Ya aku cemburu. Sangat cemburu. Tiba-tiba kalian seakan menjauh. Ada rahasia yang hanya kalian yang tahu kini. Ada mimpi baru dikehidupan kalian tanpa melibatkan aku. Aku cemburu dengan semua itu.

Salah seorang teman dari kamar nomor lima berkata padaku. Kamu suka ya sama cowok itu? Ku jawab. Tidak. Dia hanya teman. Lalu kenapa kamu cemburu. Aku diam. Apa selama ini memang benar kata orang bahwa aku juga menyukainya?

Aku berpikir berhari-hari. terkadang sampai tak bisa tidur. Namun semakin keras berpikir aku semakin yakin aku tidak menyukainya. Lalu apa yang selama ini membuatku cemburu melihat mereka berdua? Ternyata jawabanya adalah tidak ada lagi obrolan via pesan singkat dengan mereka berdua. Tiada lagi ketokan tengah malam untuk sekedar bercerita tentang hari yang telah dilewati. Tidak ada lagi tawa lepas. Tidak ada lagi makan malam bersama. Tidak ada lagi cerita. Ya aku kehilangan persahabatan empat tahunku.

Aku mencoba memperbaikinya. Mengetok kamarnya. Mengajaknya makan malam. Pura-pura ingin bercerita. Tapi semua rasanya hambar. Ketika saat aku datang berkali-kali dan malah suasana hening yang datang menyambutnya. Kau malah asik berkirim pesan singkat dengan seseorang di seberang sana.

Bahkan dihari yang menurut orang penting. Hari dimana berkurangnya usia manusia. Hari berkurangnya usiaku, kaupun memilih dia. Saat aku mengajakmu makan bersama teman-teman yang lain. kau menolakku. Kutanya, ada acara apa? “Aku mau pergi dengannya.” Oh. Mengapa harus hari ini. bisakah kau tunda dulu bertemu dengannya karena rencana ini sudah dari jauh hari. jadi kuputuskan untuk menunggumu. Untuk bisa merayakannya bersama. Aku tidak mau merayakannya tanpa sahabat empat tahunku.

Hingga pada suatu hari aku tahu kebenarannya. Dari salah seorang teman dari kamar nomor lima. “Kamu tahu, semalam dia bercerita padaku.” Apa? Tanyaku. “Dia sangat menyukai pacarnya.” Oh. Kataku. “Lalu aku bertanya.” Dia melanjutkan. “Mengapa sekarang kau tak pernah terlihat bersamamu (aku)? Kau tau apa jawabnya. Aku sudah memilih. Aku memilih pacarku. Jika aku memilih dia (aku) apa yang akan kudapatkan. Pacarku itu masa depanku. Dan dia masa laluku.” Aku hanya diam. Berkali-kali menghela nafas panjang. Sakit rasanya. Persahabatan empat tahun dihancurkan dengan perkenalan beberapa minggu. Mengapa kau terlalu bodoh hanya untuk memilih satu orang saja. Mengapa kau tak memilih keduanya. Tetap bersamanya dan bersamaku.

We called it bestfriend
Tapi pada akhirnya aku memakluminya berbuat itu. Butuh proses yang lama dan panjang. Proses penuh kecemburuan yang terkadang disalah artikan orang. Dikiranya aku menyukai lelaki itu, padahal aku cemburu dengan hilangnya sahabat empat tahunku. Hingga pada suatu titik aku sadar. Untuk menghentikan segala khayalan gila. Tentang persahabatan puluhan tahun. Tentang pengorbanan untuk seorang sahabat. Tentang mimpi-mimpi jalan-jalan keluar kota. Tentang menikmati indahnya negeri orang. Yang kini sudah kau rajut bersamanya. Ya, di titik itu aku memutuskan untuk cukup. Dan mencoba bersahabat dengan sebuah pilihan.

“Jika kau disuruh memilih mana yang kau pilih, sahabat atau pacar?”
“Aku memilih keduanya” (Tao Ming Tse)

Aku = Alya
Sahabat 4 tahun = Mira
Teman lelaki = Farhan
Teman kamar nomor lima = Lili

teman