Selasa, 21 Januari 2014

After New Year's Eve


Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu yang paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di ujung dedauan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki gunung. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi.  (Sunset Bersama Rosie-Tere Liye)

Mendapati ponsel yang terus bergetar, akhirnya saya bangun. Kaget karena sudah pukul 5. Bergegas beribadah dan melesat menuju rumah si Preman Tingkir. Tentu saja tak jadi mandi. Hawa dingin kota hati beriman menyurutkan badan untuk berbaur dengan air dan sabun. Subuh, sehari setelah perayaan tahun baru semalam. Jalanan sepi, rumah-rumah masih betah meyalakan lampu. Jadi kupercepat laju kendaraan, walau akhirnya menyesal karena kedinginan.

Subuh memang selalu indah. Saya dan Zara akhirnya bertemu Windi dan keluarganya. Beramah tamah dengan keluarganya dan mengintip Koko yang sedang tidur. Tentu saja dengan bapak dan ibunya. Tak tahan melihat godaan itu, berangkatlah kita secepanya. Menggeber motor dan menerobos jalanan Salatiga-Ampel-Boyolali. Berbelok ke Jatinom dan menyadari bahwa jalan favorit saya masih selalu indah. Apalagi di pagi hari.

Hujan mulai turun di kota dengan foto Pak Sunarna dimana-mana. Klaten BERSINAR, tapi sekarang sedang Hujan. Memutuskan untuk mencari kehangatan dengan makan. Namun warung pinggir jalan masih tutup. Dan “soto sop” di depan Candi Prambanan akhirnya jadi pilihan.

Melanjutkan perjalanan ke selatan. Bukan mencari kitab suci tapi mencari matahari. Tapi yang dicari malah sembunyi bersama awan. Tujuan pertama sudah di depan mata. Kado sebesar karung yang di bawa Zara jadi perhatian banyak mata. Sebuah barang di tempat yang salah.

Naiklah kita ke atas. Dengan sepatu salah. Lupa kalau ini alam, bukan mall. Maka melepasnya dan “nyeker” sampai atas adalah pilihan yang tepat dengan tanah yang licin sepeninggalan hujan semalam. Berjalan ke atas dengan dua orang yang baru pertama naik-naik ke puncak gunung ini lucu sekali. Mereka takut, tapi penasaran. Mereka ingin pulang, tapi sudah kepalang. Jadi, setapak demi setapak kami naik Gunung Api Purba yang ramai sekali. Bergantian mengalah dengan pendaki yang lain. Walau terkadang sebal karena di "jalan satu badan manusia" tidak ada yang mau berhenti dari atas. Katanya tinggal 2 orang, nyatanya 2 kampung.

Pos I. sudah sampai disini. Gerimis mulai datang lagi. Nampaknya kami memutuskan untuk cukup. Istirahat dan berfoto sejenak. Mereka berdua bilang “pikir ulang” kalau mau ke sini. Ku bilang, nanti kalau kering ke sini lagi. Mereka tetap pikir ulang. Turun sekarang. Zara malah terpeleset, aku dan Windy hanya syok. Penuh lumpur celananya. Saat turun berkenalan dengan pemuda-pemuda asal Jawa juga. Mereka sangat membantu.

Sampai bawah sudah berkemas dan membersihkan diri. Kami tak belok kiri yang katanya ada embung yang indah. Langsung saja menunju Pantai di selatan sana. Hingga sampai sana hujan deras mengguyur separuh perjalanan. Dan yang paling menyebalkan MACET. Membuat mual. Membuat sedih dan pingin berputar ke
arah lain saja. Maka pantai terdekat jadi pilihan. Pantai Sepanjang. Kami bahagia. Walau hanya duduk-duduk saja. Kami merasa semakin bahagia, karena laut yang luas sudah membawa pergi kekesalan kami sebelumnya.
Terimakasih Yogyakarta. Terimakasih Nura. Terimakasih Nanda. Dan Terimakasih Windi dan Zara.


Galeri Foto:
Gunung Api Purba

sudah sampai pantai
#CukupDudukSaja


 Hari Kedua di Yogyakarta: Mengunjungi Museum 3D De Mata

 

 Terimakasih Yogyakarta
 

 *All photo edited by Zara











Rabu, 15 Januari 2014

Mirror | Reflection

Mirror | Reflection (Bama Beach) | photo by: vandi
Kepulan asap dari secangkir kopi panas itu sudah mulai menipis. Ampasnya pun sekarang mulai turun kedasar. Aku tetap di sini. Tak beranjak sejak sore tadi.
***
Aku sangat nyaman dengan keadaan ini. Kamu berbeda dari yang lain. kamu seperti tujuan hidupku kelak. Walau aku tak tahu pastinya, karena tentu ada yang sudah tertulis di suratan takdirku. Kita memutuskan untuk mejadi teman baik. sahabat kala senja dengan secangkir kopi dan segelas susu putih hangat. Nampaknya beda. Namun jika kita menyatu akan menjadi perpaduan yang nikmat. Rasa yang nyaman. Rasa saling menerima pahitnya rasa kopi dan manisnya rasa susu. Kita juga sama-sama memutuskan untuk tidak menjadikan hubungan ini rumit. Sahabat. Itulah nama kita berdua. Walau kita sama-sama tahu ada rasa lain yang pelan-pelan menyusup dan tentu saja kita saling menepisnya. Tapi akhir-akhir ini malah aku yang kewalahan dengan rasa ini. benih-benihnya mulai merambat disekujur tubuhku. Ya aku memang telah jatuh cinta.
Aku memilihmu bukan karena aksara, tapi lebih karena aksi nyata. Kau tidak pernah memanjakanku layaknya lelaki pada umumnya. Mandiri. Sepertinya kata yang tepat untuk gayamu bersosialisasi. Membuatku betah berlama-lama menunggu balasan pesan singkatmu. Tanpa gelisah tak menentu. Kau mengajariku itu. Membiarkan rasa rindu terus menggantung di dimensi bernama pikiran. Agar aku tak manja. Dan agar aku tak menghabiskan waktu menunggu dengan hal yang sia-sia. Diakah? diakah yang Kau tulis namanya bersamaku di lembaran takdir milikMu? Diakah yang tangannya akan menggengam tangan ayahku dan membuatku berpindah posisi dari anak ayah menjadi seorang istri? Semoga hari ini adalah jawabannya.
//Jam 4 sore ya di tempat biasa. Ada yang ingin kusampaikan. :) //
// OK. //
Pesan singkatnya membuat aku gelisah. Membayangkan dia mengucapkan kalimat lamaran. Membayangkan pipiku memerah malu-malu. Dan menjawabnya dengan yakin bahwa aku mau. Bayangan-banyangan ini membuatku lupa bahwa waktu terus berjalan. Jam dinding menjadi menyebalkan karena rasanya dia berlari lebih cepat ke angka empat. Hingga akhirnya aku sudah berada di sini. Lebih cepat 5 menit darimu yang berlari-lari kecil menghampiri meja nomor 19.
“ Maaf terlambat, kamu sudah lama?” katanya tersenyum sambil menarik kursi. Duduk.
“Baru lima menit, santai saja.” Jawabku membalas senyumnya.
Sambil menunggu pesanan masing-masing. Kita bicara banyak hal. Layaknya sahabat lama yang tidak pernah bertemu. Tertawa dan kaget saat ada hal baru yang baru kita dengar. Membicarakan alasan kau datang terlambat, kerjaan kantor yang semakin banyak, rencana liburan akhir tahun, hingga masalah jodoh. Inilah yang paling kutunggu. Semoga  saja pembicaraan berikutnya seperti yang kuharapkan.
“Sebenarnya kalau bicara masalah jodoh aku masih abu-abu. Masih meraba-raba siapa dan seperti apa dia kelak.” Diam sejenak. Dia menunduk, seolah memikirkan sesuatu. Bercerminlah. Aku disini siap memantulakan banyanganmu. Bukankan jodoh sangat mirip dengan diri kita? Aku siap jadi cerminmu. Dia mulai bicara lagi. Dengan masih menunduk.
“Tapi aku merasakan sesuatu yang lain kala kita bersama.” Dia mulai mengangkat kepalanya. “Kau pasti sudah mersakannya bukan? Ada rasa yang lebih dari sekedar sahabat di antara kita.” Aku mulai menata diri. Agar tidak terlihat terlalu canggung. Tidak pula terlihat bodoh dan terlalu berharap. Lanjutkan,,lanjutkan.
“Aku rasa kita bisa menjadi lebih.” Aku hanya diam dan memberi tatapan yang mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan mengkerutkan dahi dan memincingkan mata. Lanjutkan, batinku menyeruak.
“Begini. Bisakah kita menjadi lebih dari sahabat?” Susah sekali kau bicara, sesusah aku menyembunyikan rasa. Bibirku serasa tertarik ke atas. “Kita.” Hening sebentar. “Jadi sepasang kekasih.”
“Kekasih?” tak tahan aku diam.
“Ya, sebutlah itu pacaran.” Senyumnya lebar sekali.
“Pacaran?” wajahnya yang bahagia semakin bergeser ke mimik muka penuh pertanyaan. Apa ada yang salah? Aku bingung menjelaskannya. Yang ku inginkan pernikahan. Aku ingin menyempurnakan ibadahku. Bukan yang lain.
“Datanglah ke rumah bersama keluargamu, jika kau berkenan.” Aku memakai kalimat lain yang bermakna sama. Lamarlah aku. Kita menikah.
“Maksudmu menikah?” Wajahnya tiba-tiba syok. Apa yang salah. Ku jawab dengan raut muka. “Kamu terlalu cepat, Sarah. Menikah itu tanggung jawab yang besar. Keluarga, anak, rumah. Masih banyak yang harus kita kejar.”
“Kita bisa mengejar yang lain disaat yang bersamaan.”
“Ya, paling tidak dengan tidak menikah dulu. Pendekatan juga perlu bukan? kita pacaran dulu lah, dua tiga tahun.”
“Aku kira kita satu pemahaman, bukankan sudah jelas mana yang dihitung ibadah dan mana yang tidak. Aku tidak mau menghabiskan tahuanan bersamamu hanya untuk hal lain. Pengenalan. Masih kurang?”
“Tapi, kita kan ngga ngapa-ngapain.” Diam kembali merajai. Namun pikiran kita berbicara banyak hal. “Maaf, jika untuk menikah aku tidak siap dan belum berpikir ke sana. Sebaiknya kita berteman saja dulu.” Hening kembali menyeruak. Bahkan ucapan terimakasih lenyap saat pramusaji datang meletakan secangkir kopi dan segelas susu putih hangat. Dia mulai resah.
“Aku belum siap.” Aku hanya bisa menunduk. Sama dengannya. Tapi sedetik kemudian dia beranjak berdiri. Membuat kepalaku ikut mendongak. “Rasanya ada yang perlu sama-sama kita pikirkan. Aku permisi.” Dia mulai melangkah, berbalik arah dan berjalan ke pintu keluar.
Aku membiarkannya pergi. Tanpa sekalipun memanggilnya dengan lantang atau hanya dalam diam. Bukankah sebuah kalimat dalam puisi atau prosa membutuhkan spasi diantara kata-katanya. Agar bisa terbaca. Agar bermakna. Maka, itulah kita. Aku akan membuat jarak dan jeda diantara kita. Karena aku masih yakin itu kamu. Yang tertulis nanti di undangan pernikahanku. Aku hanya perlu menunggu. Menunggumu berbalik arah dan menjadikanku cerminmu.
#ShortStory

Kamis, 09 Januari 2014

My 2013!!

January
January make a journey. Perjalanan yang panjang saya tempuh ke ujung timur pulau Jawa. Menyambangi rusa, monyet, merak dan banteng. Lalu berlanjut ke sebuah kawah yang mengeluarkan api berwarna biru. Hanya ada dua di dunia. Sebenarnya perjalanan ini adalah hadiah setelah karya ilmiah a.k.a skripsi di setujui sampai BAB III. Dengan persiapan dua minggu saja, berangkatlah saya bersama beberapa teman SMA. Nice Trip!

February
Bulan ini penuh keceriaan dan cinta. My sister got married. Persiapan beberapa bulan sebelumnya terbayar dengan air mata kebahagiaan. Ketika semua orang meneriakkan kata SAH! Bulan ini juga bulan yang penuh drama. Kenyataan menjijikan dari orang yang tak disangka-sangka membuat mual jika diingat. But, it's ok to face up the disgusting tragedy.

March
Galaunya bukan main di akhir bulan. Batas daftar sidang di akhir bulan sempat ketar-ketir karena ada data yang salah dan baru tahu di akhir. Rasanya pengen nangis kalau harus ngulang dari awal lagi. Untuk bapak pembimbing, your SPG theory give me huge strength to face that day. Walau akhir bulan rasanya deg-degan dan pengen nangis, awal bulan sangat bahagia. Perlakuan super special dari teman-teman special membuat terharu sekaligus sedih. Seneng karena perhatian mereka luaaaaar biasa sampai bikin spanduk dan kue ultah cantik. Tapi juga sedih ngeliat kenyataan maybe this is my last birthday party with them. (versi lengkap banget)

April
Deg-degan nunggu jadwal sidang yang tak kunjung datang. Tiap hari belajar dari pagi sampai malam. Berguru dengan orang-orang baik nan cerdas di ruang 6 perpus pusat. Semua dengan satu tujuan yang akhirnya jatuh pada tanggal 18 April 2013. Hari yang bersejarah dengan sidang yang penuh tawa. I know that's You, yang membuat semua ini menjadi mudah. Dan doa dari mushola kecil disalah satu sudut rumah yang terus melantunkan  Al Fatihah hingga 1000 kali. (nangis banget saat tahu itu terjadi). Dukungan dan kekuatan kalian semua saya pakai hari itu untuk menyelesaikan 3 tahun 8 bulan di tanah rantau yang sudah seperti rumah kedua.


May
Bulan tersibuk mungkin. Melakukan perjalanan perayaan kelulusan dengan 3 orang teman wanita. Perjalanan yang ada di salah satu travel list saya, Bromo. Menghabiskan gajian terakhir di tempat kerja kemarin. Naik jeep, liat sunrise, dan glesoran di pasir berbisik. Alhasil pigmen kulit hitam semakin menyeruak keluar. Bedak adalah penyelamat kulit saat wisuda nanti. Setelah berjalan ke Timur lanjut ke ujung Barat pulau Jawa dengan beberapa perayaan. Adalah 21 Mei 2013 resmi tali topi toga saya bergeser dari kiri ke kanan. Kehadiran keluarga dan beberapa teman terbaik adalah kado terindah terlepas dari perayaan itu sendiri. Paket lengkap. Tentu saja hal ini adalah sebuah awal baru untuk tahap hidup selanjutnya. Persiapan tisu untuk beberapa farewell party harus ditumpuk mulai sekarang. 

June
Mulai bergerak kemana-mana untuk menyambut rezeki dari Alloh. Munafik rasanya jika kita hanya diam ditempat dan hanya menunggu. Kesadaran lain muncul menyadari kenyataan bahwa waktu saya di kota ini akan segera berakhir. Artinya menghabiskan waktu bersama orang-orang terkasih di kota ini dan selalu ada untuk mereka adalah kewajiban saya. Mengitari penjuru Yogyakarta dari hiruk pikuk kota hingga deburan ombak di selatan sana. Menangis sampai sesak di malam perpisahan dengan rumah saya selama 4 tahun ini. Memeluk mereka satu per satu saat video kenangan kita selesai diputar. Mengangkut barang dan boks-boks kenangan menuju kota kelahiran. Walau kita masih bertemu nanti, tapi ini perpisahan paling menyedihkan bagi saya.

July
Penuh ibadah. Bulan ketika tidak ada lagi beban skripsi dan fokus utama adalah bersyukur. Bersyukur dengan semakin mendekat kepadaNya. Semakin dekat dengan ibu-ibu mushola setelah tarawih. Belajar menyiapkan hidangan buka puasa dan sahur serta menepati target-terget ibadah dengan manajemen waktu yang ketat. Juli setahun yang lalu, saya belajar bersama tawa riang anak kelas enam SD. Bermain puzzle wajah, menyanyi lagu kebangsaan bersama, menanam benih tanaman di polybag dan tentu saja menangis membaca surat-surat polos kalian agar kami tidak melupakan dan suatu saat kembali. Juli ini penuh renungan. Kesempatan yang baik untuk mendekat padaMu dan pada keluarga.

August
Happy Eid Mubarak. Hari ketika janji Tuhan memberi banyak berkah bagi yang menjalankan Ramadhan dengan baik. Menyambangi rumah tetangga dan saudara. Merajut benang-benang silaturahmi dan menariknya menjadi senyuman maaf dan rantai-rantai doa. Masih dipertemukan dengan Ramadhan saja sudah merupakan berkah tersendiri. Menghadiri wisuda teman lama dan berkumpul bersama sahabat yang makin lama makin ulala. Reuni teman putih biru di acara buka bersama. Ada rasa yang menyenangkan dibalik kehidupan yang semakin mendesak maju.

September
Mulai lagi mendaftar-mencari rezeki. Lebih sering bingung. Bulan galau cari kerja. Banyak pertanyaan dari orang. Bingung jawabnya. Kadang cuma senyum saja. Kita harus memilih kan? Layaknya usaha kita tak mereka lihat. Jangan liat hasil dan tujuannya, lihatlah usaha dan prosesnya.

October
Nekat menembus hujan lebat untuk camping di desa tertinggi di Pulau Jawa. Mulai bosan dengan situasi yang terus sama. Berkenalan dengan banyak karakter dan mencoba jadi motivator bagi kagalauan beberapa sahabat. Belajar Indonesia dan belajar rumah tangga. Masih dengan pertanyaan yang sama, masih dengan jawaban yang sama. Masih menutupi sabuah rahasia dan masih berusaha melempar sauh agar tidak kembali di bibir pantai.

November
Banyak kesibukan membuat hari-hari terasa lebih cepat. Menapaki proses kehidupan. Berlibur bersama keluarga di sebuah candi serta mengunjungi sanak keluarga jauh. Berbagai macam tes dan berbagai macam harapan. Ada kenyataan yang harus dihadapi bahwa terkadang aksi tidak sama dengan rekasi. Walau mungkin reaksi ada berbagai bentuk. Bulan ini dihabiskan dengan ribuan doa untuk ini dan "itu".

December
Semacam penantian panjang yang terjawab hanya dengan rentetan tulisan. Menyaksikan luapan Alhamdulillah di langit-langit rumah yang mereka lafalkan. Subuh yang indah, keluarga yang hangat, rumah yang semakin lengang. Semuanya lengkap. Tambahan anggota baru di rumah kami membuat hidup semakin terasa. Bersyukur dan bersabar itu kuncinya.

Bama Beach (Baluran National Park) | photo by: Ardiyanta
The Most Beneficent (Allah)!  Has taught (you mankind) the Qur'an (by His Mercy). He created man. He taught him eloquent speech. (QS: Ar Rahman 1-4).

teman