Akhirnya hari itu datang juga. Hari yang sangat
ingin kuhindari. Hari dimana sebuah pilihan diambil. Kita selalu memilih. Tentu
saja denganmu yang kala itu memilih untuk mengatakan tidak bisa. Ya, sahabat
wanitaku telah memilih.
Pertemanan kita sudah empat tahun. Kita sudah
tahu luar dalam. Bahkan yang mungkin tidak diketahui keluargaku. Tiap hari kita
bercerita, tiap hari kita bersama. Bisa dikata separuh hidupku diusia akhir
belasan hingga awal duapuluhan kulalui bersamamu. Sampai pada hari itu aku
sadar. Aku harus mengalah pada sebuah pilihan.
Aku punya teman laki-laki. Teman yang baru
kukenal beberapa minggu saja. Dari sebuah komunitas sosial. Dengan segala sifat
buruk yang melekat pada dirinya pada dasarnya dia orang yang baik. Aku mengenalkannya
pada sahabat wanitaku. Dan tentu saja kita jadi sering jalan bersama. Bertiga.
Orang-orang mengira aku menyukai lelaki itu.
Hanya karena dia satu-satunya laki-laki yang sering menjemputku di tempat kerja
dan sering main ke kosan. Tanpa mereka tahu aku sedang menjodohkannya dengan
sahabat wanitaku. Awalnya wanita ini menolak. Katanya lelaki itu terlalu keras
kepala. Sama sepertinya. Dia juga merasa lelaki ini menyukaiku. Ku yakinkan
dia. Bahwa dia lelaki baik-baik. Tapi itu malah membuatnya semakin yakin kita
berdua cocok.
Seiring berjalannya waktu tanpa kuketahui mereka
sudah jalan dua kali. Aku kaget saat mendengar ceritanya. Bahagia karena semuanya
semakin jelas adanya. Kau bercerita hampir tiap hari. mengetok kamarku
malam-malam hanya untuk bercerita bahawa hari ini kalian SMSan. Menceritakan
betapa bahagianya dirimu saat tau dia mulai tertarik padamu. Kau jadi berkali
lipat mendatangi kamarku yang selalu terbuka untukmu jam berapapun. kaupun
sudah tak sungkan bercerita padaku tentangnya, yang dulu kau kira aku dan dia
saling menyukai.
Hingga pada suatu hari aku mendapat pesan
singkat dari seorang teman bahwa kalian berdua jadian. Aku tak percaya secepat
ini. Walau memang aku tahu kalian sama-sama serius dengan hubungan belakangan
ini. Mereka berdua memang selalu bercerita kepadaku. Namun yang paling aku
sayangkan adalah aku tahu dari orang lain. Itu sudah membuatku agak kesal. Tapi
aku tahu bahwa pasti ada alasan dia memberitahuku belakangan.
Beberapa minggu berselang. Aku merasa ada yang hilang.
Ada bagian dari tubuhku yang mencari-cari sesuatu. Melihat kalian berdua pergi
bersama membuatku menjadi cemburu. Ya aku cemburu. Sangat cemburu. Tiba-tiba
kalian seakan menjauh. Ada rahasia yang hanya kalian yang tahu kini. Ada mimpi
baru dikehidupan kalian tanpa melibatkan aku. Aku cemburu dengan semua itu.
Salah seorang teman dari kamar nomor lima
berkata padaku. Kamu suka ya sama cowok itu? Ku jawab. Tidak. Dia hanya teman.
Lalu kenapa kamu cemburu. Aku diam. Apa selama ini memang benar kata orang
bahwa aku juga menyukainya?
Aku berpikir berhari-hari. terkadang sampai tak
bisa tidur. Namun semakin keras berpikir aku semakin yakin aku tidak
menyukainya. Lalu apa yang selama ini membuatku cemburu melihat mereka berdua? Ternyata
jawabanya adalah tidak ada lagi obrolan via pesan singkat dengan mereka berdua.
Tiada lagi ketokan tengah malam untuk sekedar bercerita tentang hari yang telah
dilewati. Tidak ada lagi tawa lepas. Tidak ada lagi makan malam bersama. Tidak
ada lagi cerita. Ya aku kehilangan persahabatan empat tahunku.
Aku mencoba memperbaikinya. Mengetok kamarnya.
Mengajaknya makan malam. Pura-pura ingin bercerita. Tapi semua rasanya hambar.
Ketika saat aku datang berkali-kali dan malah suasana hening yang datang
menyambutnya. Kau malah asik berkirim pesan singkat dengan seseorang di
seberang sana.
Bahkan dihari yang menurut orang penting. Hari
dimana berkurangnya usia manusia. Hari berkurangnya usiaku, kaupun memilih dia.
Saat aku mengajakmu makan bersama teman-teman yang lain. kau menolakku.
Kutanya, ada acara apa? “Aku mau pergi dengannya.” Oh. Mengapa harus hari ini.
bisakah kau tunda dulu bertemu dengannya karena rencana ini sudah dari jauh
hari. jadi kuputuskan untuk menunggumu. Untuk bisa merayakannya bersama. Aku
tidak mau merayakannya tanpa sahabat empat tahunku.
Hingga pada suatu hari aku tahu kebenarannya.
Dari salah seorang teman dari kamar nomor lima. “Kamu tahu, semalam dia
bercerita padaku.” Apa? Tanyaku. “Dia sangat menyukai pacarnya.” Oh. Kataku. “Lalu
aku bertanya.” Dia melanjutkan. “Mengapa sekarang kau tak pernah terlihat
bersamamu (aku)? Kau tau apa jawabnya. Aku sudah memilih. Aku memilih pacarku.
Jika aku memilih dia (aku) apa yang akan kudapatkan. Pacarku itu masa depanku.
Dan dia masa laluku.” Aku hanya diam. Berkali-kali menghela nafas panjang.
Sakit rasanya. Persahabatan empat tahun dihancurkan dengan perkenalan beberapa
minggu. Mengapa kau terlalu bodoh hanya untuk memilih satu orang saja. Mengapa
kau tak memilih keduanya. Tetap bersamanya dan bersamaku.
We called it bestfriend |
“Jika kau disuruh memilih mana yang kau pilih,
sahabat atau pacar?”
“Aku memilih keduanya” (Tao Ming Tse)
Aku = Alya
Sahabat 4 tahun = Mira
Teman lelaki = Farhan
Teman kamar nomor lima =
Lili