Kamu butuh audiens bukan teman. (Dee, “Madra”, hal 141, 2011)
Pertemuan ini kita yang rencanakan. Pada hari ketika semua
orang sedang berlibur jika mereka tinggal di Indonesia. Sebuah hari raya.
Mungkin juga untuk kita. Karena kita bertemu pada hari itu.
Pertemuan ini memang kita rencanakan. Tepatnya kau yang
mengajakku dan aku dengan sangat senang langsung mengiyakan. Kenapa? Karena
kita memang sangat jarang bertemu sejak kita terpisah oleh kota untuk mencari
apa yang mereka sebut sebagai rutinitas setelah tamat sekolah.
Hari itu aku bergegas untuk segera bertemu denganmu. Kunaiki
bus yang dulu sering kupakai jika aku akan pergi ketempat biasa kita dan
teman-teman kita berjumpa. Tepat saat aku melangkah turun dari bus aku
melihatmu. Dengan pakaian senada dengan warna daun-daun disekelilingmu. Saat itu
aku juga melihat guguran bunga warna kuning yang tersebar disekeliling kita. Sungguh
pemandangan yang sangat indah yang pernah kulihat.
Tak ada yang lain darimu ketika kujabat dan mulai tersenyum
padamu. Kau masih seperti kau yang dulu. Namun saat kau tiba-tiba bicara, aku
merasa ada yang lain. apa itu? Aku juga tak tahu.
Kau bicara dan terus bicara. Kau ceritakan padaku semua hal
yang kau alami tanpa aku. Dari tempat kau tinggal, tempat yang mereka sebut sebagai
rutinitas setelah tamat kuliah, lelakimu, orang-orang barumu yang aku belum
pernah mengenal atau melihatnya. Awalnya aku yakin ini masih kau. Dirimu yang
memang sangat antusias ketika bercerita hal yang kau alami tanpa aku. Namun, aku
merasa ada lain setelahnya. Apa itu? Aku masih mencarinya.
Ditempat itu kita berjalan, berjalan beriringan dalam suatu
hari ketika makhluk hidup lain sedang ikhlas untuk mati. Dan saat itupun kau terus
berbicara dengan ikhlas. Aku? Aku masih terus mendengar pula dengan ikhlas. Apakah
ini yang berbeda. Mungkin.
Kita menemukan suatu tempat baru. Tempat dimana kita harus
melewati jalan-jalan yang naik turun. Hingga akhirnya sampai pada tempat itu. Tentu
saja masih dengan bibirmu yang terus bergerak. Naik dan turun. Di tempat itu
kita makan.
Setelah berjalan jauh dan menemukan persinggahan untuk
makan, rasanya aku sangat lelah. Entah mengapa, bahkan biasanya akupun tak
pernah mengalami hal ini. mataku, kakiku, telingaku, hatiku. Hatiku? Entah mengapa
hatiku juga merasa lelah. Saat kau bicara lagi, aku memandangmu lagi. Mencoba menyimak
apa yang kau katakan. Kali ini tentang cintamu yang membuatmu mabuk. Tiba-tiba
cerita itu berganti dengan kejadian ganjil yang menimpamu beberapa waktu
terakhir. Tiba-tiba berganti lagi dengan kehidupanmu bersama kawan barumu. Yang
lebih suka kau anggap mereka sebagai musuh.
Belum sempat aku berkomentar tentang satu hal, kau sudah
mengalihkan lagi cerita yang lain. seakan aku ini tak harus berkomentar. Akalku
harus bergerak cepat untuk memberi komentar tentang ceritamu yang kadang kau
abaikan.
Handphoneku bergetar. Namun kau masih bergumam. Tanpa lelah.
Tanpa jeda. Hingga akupun sungkan untuk sekedar melihat pesan yang singgah d
handphoneku.
Kalimatmu mengalir bagaikan air terjun yang tak henti turun.
Kekuatannya tetap sama walau sudah jatuh puluhan tahun. Aku hanya bisa berucap,
“oh..ah..benarkah?..jadi begitu”.
Kaupun tak peduli dengan argument yang kadang kukeluarkan. Yang
semakin kesini semakin menunjukan kekesalan. Kau seolah berbicara disebuah
mimbar. Berpidato tanpa harus ditanggapi ataupun mengetahui apa yang orang lain
ingin katakan.
Tapi ini aku, teman. Aku adalah orang yang ingin kau
dengarkan kisahnya. Kisah yang kulalui tanpamu. Kisah yang kau tak tahu karena
kita jauh. Tapi mengapa kau seolah bicara tanpa peduli apa yang kuinginkan. Bukankah
kita bertemu untuk saling berbagi.
Kemudian saat makanan datang, kau mulai agak terdiam. Namun ini
tak berselang lama. Kau bicara lagi. Mengguruiku tentang makanan yang kumakan
dan menjelaskan makanan yang kau makan. Baik. aku tahu kau ahli. Tapi biarkan
aku makan sejenak.
Dalam perjalanan untuk mencari bus yang kutumpangi untuk
pulang. Aku masih berjalan didekatmu. Dan kau masih bercerita. Lagi-dan-lagi. Bahkan
taukah kau kadang ceritamu sudah kau ulang lebih dari dua kali. Tapi aku mulai
menyadari satu hal. Disini aku kau butuhkan sebagai tempat sampahmu yang
kaucari. Yang selama ini tak ada yang mau mendengarmu. Mereka yang kusebut
teman barumu, yang lebih suka kau sebut musuhmu.
Disinilah kau mencari teman lama yang kau anggap teman, tapi
tak kau perlakukan layaknya teman.
Teman bagiku adalah saling berbagi. Bagiku saling memberi. Tapi
kau tak mau mendengarkan kisahku.
Tak apa. Sampai disini aku tahu. Apa yang kutanyakan saat
kau mulai bicara tadi. Saat aku janggal ini bukan kau.
Benar, kau telah berubah. Mungkin fisikmu tidak. Tapi tingkah
dan perbuatanmu aku yakin ya. Berubah. Manusia memang terus berubah. Begitu pula
kau. Dan aku. Dan aku menemukan jawabannya saat melangkahkan kakiku di bus yang
mengantarkanku pulang. Yang kau masih sempat-sempatnya bercerita saat aku sudah
masuk pintunya. Ya, kamu butuh audiens, bukan teman. Itu sebabnya teman barumu
tak mau berbicara, karena mereka tak kau dengar sebagai teman.
Aku masih berharap kau berubah. Mungkin bukan aku, sebagai
dewa penolongmu. Yang akan menyadarkanmu. Karena aku hanya pengecut yang tak
mau menyakiti hatimu. Tapi aku yakin keadaan nantilah yang akan menyadarkanmu.
Jangan kau kuasai keadaan dengan bibirmu. Pahamilah dengan
telingamu. Cobalah dengarkanlah mereka yang mencoba menyadarkanmu. Dengan mendengar
kau akan tahu. Kau akan tahu apa yang mereka mau. Hatimu akan terbuka, karena
itu hanya bisa kau lakukan dengan mendengar.
Teimakasih.
Aku masih disini.
Masih ingin kau anggap sebagai teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar