Dimensi itu telah dijaga (Foto: Universal Studio Singapore) |
Ketika kita tak lagi
bicara. Ketika semuanya menjadi
hilang sempurna. Ketika suara lenyap dan
bersisa hening. Ketika kita berada di
suatu titik bernama sepi. Kamu di mana? Kita sudah
tak ada.
Aku menyesal tidak
memungut ceceran aksara kita yang berserakan beberapa hari kemarin. Dimensi bernama pikiran
sedang merajalela. Diam dan sepi terus
mengepung dari depan belakang kanan kiri atas bawah. Sudah saja. Biar semuanya
menguap bersama kepulan asap. Sampai sini saja. Biar semuanya
hanyut bersama derasanya hujan. Aku ingin terpejam, namun
dalam gelap aku malah bisa melihatmu. Aku ingin diam. Tapi kita
bisa bercengkrama dengan akrab di sana. Aku ingin hening. Tapi suaramu
malah menggema memenuhi ruang nyata dan ruang imajinerku. Mungkin ini yang kau
sebut kasta. Atau biasa mereka sebut ruang. Atau juga biasa kusebut jarak. Tak ada lagi aksara. Tak ada
lagi suasana. Semuanya lenyap. Melebur dalam
bentuk non materi. Terkadang suasana ini
terasa nyaman. Namun terkadang ini menyiksa. Setelah banyak bicara. Kau
putuskan untuk diam. Pun aku juga sama. Saling
memasuki dimensi pikiran satu sama lain. Sejauh apa kita berlari. Sekuat
apapun kita menyerah dan mengagungkan ego dan gengsi. Karet itu akan semakin
mementalkan kita ke belakang. Menyatukan rasa itu kembali. Walau ada jarak. Ruang kita
tetap sama.
Dewata telah
memutuskannya. Menjadikan kita layaknya
dua sisi mata uang. Tak bisa saling melihat. Tapi
kita tahu kita dekat. Tak bisa saling menyapa. Tapi
kita tahu kita menyatu.
tak bisa saling melihat, tapi kita tahu kita dekat.
BalasHapustak bisa saling menyapa, tapi kita tahu kita menyatu.
what a wonderful :)
what a wonderful world...ya iyalah. #salamcowcow
Hapus