Air mata boleh berjatuhan tapi langkahku harus tetap tegar.
Malam itu sudah 8. Tinggal 4 untuk berganti hari.
Berjalan sendiri di jalan lurus menuju rumah kedua. Hatiku
sesak, penuh gejolak. Bukan karena kau tapi karena mereka.
Aku belum bisa menyebutnya “kita” aku masih menyebutnya
“mereka”
Bahkan setelah lebih dari dua generasi bersama, aku masih
menganggap kita beda.
Awal aku melangkah masuk. Masih takut-takut. Takut melihat
orang baru. Melihat mereka seperti melihat seorang professional. Dan benar
mereka memang professional. Caranya bicara, caranya melihat sekitar. Tak hanya
dengan mata, tapi dengan pikiran dan hati.
Kukira yang mereka kerjakan seperti yang kukerjakan dulu.
Santai, tanpa banyak berpikir. Tapi disini lain ternyata, berpikir adalah
sesuatu yang selalu ada di tiap nafas. Tiap hari, tiap waktu. Aku kaget dengan
ini. mencoba menyesuaikan.
Saat semangat masih berkobar. Untuk belajar, untuk mengabdi.
Pada “mereka” yang masih belum bisa ku anggap “kita”. Aku merasa mereka
memandangku dengan sebelah mata, bukan tapi sekedipan mata. Layaknya debu yang
mampir di mata. Dibiarkan sebentar, tak di anggap dan akhirnya tak dihiraukan. Mungkin
yang kulakukan tak sehebat yang mereka lakukan. Tapi pengahargaan untuk jerih payah,
mengayuh, menunggu, bertanya, menulis, berpikir, mengetik, menghindar dari
keluarga, hanya dianggap kosong. Tak dilirik. Tak diteliti. Walau itu sangat
penting bagi “kita” pelakunya.
Aku sadar aku kurang. Perlakuan mereka, membuatku merubah
arah. Arah yang salah. Yang malah memilih menarik diri. Pergi menjauh dari
mereka. Tak dihiraukan juga. Tak mengapa. Karena aku bukan apa-apa. Bukan salah
mereka juga. Karena mereka bukan penentu pikirku. Hatiku dan jalanku.
Melihat dan mendengar. Itu menjadi aman. Menghindar dan
menjauh. Itu menjadi nyaman. Dengan melihat dan mendengar aku semakin kagum.
Dengan dia yang pernah memimpin. Bahasanya. Caranya memotivasi. Kadang
membuatku terharu. Termotivasi. Dan semangat lagi untuk bersama “mereka”.
Dilain sisi. Aku melihat hitam. Noda. Yang tak nampak
dimuka, namun di simpan di dalam. Banyak, semakin aku mendekat semakin gelap,
pekat. Ada di tiap tubuh yang mereka bawa. Noda yang seharusnya kecil, oleh sebagian
dari “mereka” di besarkan. Dibuat semakin suram. Tanpa mau membersihkannya.
Banyak belajar. Dari “mereka”. Dari yang “mereka” katakan,
lakukan, dan “mereka” pendam. Maaf aku masih belum bisa menganggap kalian
“kita”. Berbeda dengan kalian yang selalu bangga mempunyai dan berada
didalamnya. Walau aku tak tahu itu nyata atau maya. Itu tulus atau palsu. Tapi
aku masih belum bisa. Walau kalian paksa. Ini masalah hati.
Dan malam ini pertama kalinya aku menangis karna “mereka”.
Merasa sedikit menjadi bagian dari “mereka”. Nyesek. Geram. Pedih. Sakit.
Memiliki. Dibuang. Direndahkan. Sok akrab. Sok kenal. Basa-basi. Bangga.
Tertawa. Palsu. Aku. Kalian. “mereka”.
Sudah. Aku putuskan. Untuk “mereka” yang hanya tinggal
menghitung hari, aku tak boleh menyerah. Walau air mata tumpah. Ini untuk
“mereka”. Tak harus besar. Tapi kecil saja. Tak harus “kita”. Tapi “mereka”
saja.
Sudah. Aku lelah. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar