Malam ini adalah purnama
ke tujuh aku pergi meninggalkan rumah. Purnama yang biasa menemani kini sedang
bersembunyi di lapisan awan hitam, dan aku hanya bisa bergerak tak tentu arah. Mondar-mandir.
Duduk-berdiri-tiduran. Kosong. Ada yang sedang kucari. Saat pandanganku
berpendar di meja biasa aku bekerja, sebuah senyuman tiba-tiba mengagetkanku. Seperti
biasa aku selalu merasa dipandangi dan diperhatikan oleh foto yang subjeknya
melihat kamera saat diambil gambarnya. Itulah yang kurasakan lagi sekarang. Senyuman
difoto itu seakan sedang bicara padaku. Senyuman hangat itu terus kupandangi. Namun
aku tak kuat beradu tatap, walau hanya lewat sebuah foto. Dia selalu menang,
dan aku kalah. Malah sekarang mulai mengalir hujan di pelupuk mata. Mendahului alam
yang masih pekat oleh awan hitam. Ingatanku berjalan ke moment-moment indah
saat bersamaya. Setahun yang lalu, empat tahun yang lalu, bahkan 14 tahun yang
lalu saat aku masih berseragam merah putih.
“Jangan marah ya Pak.
Maaf.” Kataku seraya berkaca-kaca. Tak mau tumpah air mata di depanmu. Kala itu
aku sedang berlatih motor denganmu. Dengan ribuan petuahmu. Agar pelan-pelan
dan hati-hati. Rating kanan, gigi satu,dua, rem. Tapi dasar aku yang bodoh
karena kaget melihat ayam lewat, bukannya kuinjak rem tapi malah ku gas dengan
keras motor itu. Alhasil pohon tak bersalahpun jadi korbannya. Dan yang
membuatku sedih adalah lampu depannya rusak. Aku tahu motor itu adalah motor
kesayanganmu.
“Rapopo. Ora rusak kok.” Katamu sambil ,melihat lampu depan motor. Memang
tak parah, tapi aku tahu ini adalah motor kesayanganmu Pak. Berapa kali kau
bercerita, membanggakannya bahwa dia adalah teman sejatimu. Sahabat setiamu
dari kakak-kakak masih bayi merah. Merawatnya sama sepertiku. Dan aku hari ini
yang baru mulai berkenalan, sok bisa naik motor malah menyakitinya.
“Wis kono mlebu. Rapopo kok.” Katamu lagi, mulai menangkap
ketidakenakan hatiku. Kau tahu Pak? Hari ini aku manangis sendiri di kamar. Kata-katamu
seharian mengiang-ngiang layaknya suara penyanyi dangdut di tape orang nikahan
yang suaranya memenuhi desa. Bahkan hari ini ketika aku mengingatnya aku masih
sedih saja. Motor itu masih? Tentu saja. Kau masih merawatnya hingga kini. Layaknya
bayi yang tak pernah tumbuh besar. Apa kabar si hitam, Pak? Masih bisa kan aku
dan cucumu kau bonceng berkeliling kota bersamanya? Kau sendiri apa kabar, Bapak?
Maaf lebaran ini anakmu tidak bisa pulang.
Kupandangi lagi foto itu.
Awal bulan lalu kau menelefon. Setelah SMSmu belum sempat kubalas karena aku
yang sok sibuk dengan kerjaan. Kau bertanya, “Lebaran H- berapa pulangnya Nduk?” tentu saja dengan terbata-bata
seperti biasa suaramu ditelefon.
Diam sejaenak. “ Bapak,
aku nggak bisa pulang lebaran ini.” ucapku perlahan.
“Lha ngopo?” katamu keras. “Apa setelah lebaran pulangnya? Mau
lebaran di mertua dulu? H+2, apa H+3?”
“Mboten, Pak.” Hening. “Ada tugas kantor. Liputan lebaran.”
“Oh..yo wis ati-ati yo Nduk.
Mas sama mbakmu kemarin ngabari juga ngga bisa pulang. Nanti lebaran sepi yo.” Katamu
menahan tangis, suaramu mulai lirih. Tak seperti biasa kau melakukan ini,
membuatku merasa tidak enak. Kau pasti sangat kesepian setelah kepergianku
beberapa bulan yang lalu.
Aku hanya bisa terdiam
beberapa saat disini. Mengusap air mata yang keluar terus menerus dan hidung
yang mampet. Suaraku harus senormal mungkin.
“ Halo…halo…” katamu
“Nggih, Pak. Mangkih kalo
bisa saya izin Pak.”
“Alhamdulillah!!” katanya
keras sekali. Sulit sekali menjaga suara tetap stabil. Memberinya harapan
sedikit saja sudah membuatnya sangat gembira. Walau tak tahu izin pulang bisa
didapat atau tidak.
“ Sampun nggih Pak telfon-e, mangkih
melih.” Aku sudah tidak kuat.
“Yo,,Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
“Ojo lali izin yo.” Hening. “Bapak kangen.”
Tut…tut..tut..
Kata-kata terakhirnya. Jarang
diucapkan. Sengaja dia simpan di akhir telefon dan langsung ditutup. Bapak, kau
selalu sama. Membuatku ingin segera minta izin untuk pulang.
Pulang |
Uuuuuuuuuuuulllll :'(
BalasHapusApa ndut? kok sedih? hahahah
Hapus