Diantara potongan dua puluh empat jam sehari, bagiku pagi adalah waktu
yang paling indah. Ketika janji-janji baru muncul seiring embun menggelayut di
ujung dedauan. Ketika harapan-harapan baru merekah bersama kabut yang
mengambang di persawahan hingga nun jauh di kaki gunung. Pagi, berarti satu
hari yang melelahkan telah terlampaui lagi. Pagi, berarti satu malam dengan
mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati lagi. (Sunset Bersama Rosie-Tere Liye)
Mendapati ponsel yang
terus bergetar, akhirnya saya bangun. Kaget karena sudah pukul 5. Bergegas beribadah
dan melesat menuju rumah si Preman Tingkir. Tentu saja tak jadi mandi. Hawa
dingin kota hati beriman menyurutkan badan untuk berbaur dengan air dan sabun. Subuh, sehari setelah perayaan tahun baru semalam. Jalanan sepi, rumah-rumah masih
betah meyalakan lampu. Jadi kupercepat laju kendaraan, walau akhirnya menyesal
karena kedinginan.
Subuh memang selalu
indah. Saya dan Zara akhirnya bertemu Windi dan keluarganya. Beramah tamah dengan
keluarganya dan mengintip Koko yang sedang tidur. Tentu saja dengan bapak dan
ibunya. Tak tahan melihat godaan itu, berangkatlah kita secepanya. Menggeber
motor dan menerobos jalanan Salatiga-Ampel-Boyolali. Berbelok ke Jatinom dan
menyadari bahwa jalan favorit saya masih selalu indah. Apalagi di pagi hari.
Hujan mulai turun di kota
dengan foto Pak Sunarna dimana-mana. Klaten BERSINAR, tapi sekarang sedang
Hujan. Memutuskan untuk mencari kehangatan dengan makan. Namun warung pinggir
jalan masih tutup. Dan “soto sop” di depan Candi Prambanan akhirnya jadi
pilihan.
Melanjutkan perjalanan ke
selatan. Bukan mencari kitab suci tapi mencari matahari. Tapi yang dicari malah
sembunyi bersama awan. Tujuan pertama sudah di depan mata. Kado sebesar karung
yang di bawa Zara jadi perhatian banyak mata. Sebuah barang di tempat yang
salah.
Naiklah kita ke atas. Dengan
sepatu salah. Lupa kalau ini alam, bukan mall. Maka melepasnya dan “nyeker”
sampai atas adalah pilihan yang tepat dengan tanah yang licin sepeninggalan
hujan semalam. Berjalan ke atas dengan dua orang yang baru pertama naik-naik ke
puncak gunung ini lucu sekali. Mereka takut, tapi penasaran. Mereka ingin
pulang, tapi sudah kepalang. Jadi, setapak demi setapak kami naik Gunung Api
Purba yang ramai sekali. Bergantian mengalah dengan pendaki yang lain. Walau
terkadang sebal karena di "jalan satu badan manusia" tidak ada yang mau berhenti
dari atas. Katanya tinggal 2 orang, nyatanya 2 kampung.
Pos I. sudah sampai
disini. Gerimis mulai datang lagi. Nampaknya kami memutuskan untuk cukup. Istirahat
dan berfoto sejenak. Mereka berdua bilang “pikir ulang” kalau mau ke sini. Ku
bilang, nanti kalau kering ke sini lagi. Mereka tetap pikir ulang. Turun
sekarang. Zara malah terpeleset, aku dan Windy hanya syok. Penuh lumpur
celananya. Saat turun berkenalan dengan pemuda-pemuda asal Jawa juga. Mereka
sangat membantu.
Sampai bawah sudah berkemas
dan membersihkan diri. Kami tak belok kiri yang katanya ada embung yang indah. Langsung saja menunju Pantai di
selatan sana. Hingga sampai sana hujan deras mengguyur separuh perjalanan. Dan yang
paling menyebalkan MACET. Membuat mual. Membuat sedih dan pingin berputar ke
arah lain saja. Maka pantai
terdekat jadi pilihan. Pantai Sepanjang. Kami bahagia. Walau hanya duduk-duduk
saja. Kami merasa semakin bahagia, karena laut yang luas sudah membawa pergi
kekesalan kami sebelumnya.
Terimakasih Yogyakarta. Terimakasih Nura. Terimakasih Nanda. Dan Terimakasih
Windi dan Zara.
Galeri Foto:
Gunung Api Purba |
sudah sampai pantai |
#CukupDudukSaja
Hari Kedua di Yogyakarta: Mengunjungi Museum 3D De Mata
Terimakasih Yogyakarta
*All photo edited by Zara
apiiiikkkk...pengennn....museum 3Dnya unyuuu....
BalasHapusseru kok..mumpung masih diskon 50%
BalasHapus