Mirror | Reflection (Bama Beach) | photo by: vandi |
Kepulan asap dari secangkir kopi panas itu
sudah mulai menipis. Ampasnya pun sekarang mulai turun kedasar. Aku tetap di
sini. Tak beranjak sejak sore tadi.
***
Aku sangat nyaman dengan keadaan ini. Kamu
berbeda dari yang lain. kamu seperti tujuan hidupku kelak. Walau aku tak tahu
pastinya, karena tentu ada yang sudah tertulis di suratan takdirku. Kita
memutuskan untuk mejadi teman baik. sahabat kala senja dengan secangkir kopi
dan segelas susu putih hangat. Nampaknya beda. Namun jika kita menyatu akan
menjadi perpaduan yang nikmat. Rasa yang nyaman. Rasa saling menerima pahitnya
rasa kopi dan manisnya rasa susu. Kita juga sama-sama memutuskan untuk tidak
menjadikan hubungan ini rumit. Sahabat. Itulah nama kita berdua. Walau kita
sama-sama tahu ada rasa lain yang pelan-pelan menyusup dan tentu saja kita
saling menepisnya. Tapi akhir-akhir ini malah aku yang kewalahan dengan rasa
ini. benih-benihnya mulai merambat disekujur tubuhku. Ya aku memang telah jatuh
cinta.
Aku memilihmu bukan karena aksara, tapi
lebih karena aksi nyata. Kau tidak pernah memanjakanku layaknya lelaki pada
umumnya. Mandiri. Sepertinya kata yang tepat untuk gayamu bersosialisasi.
Membuatku betah berlama-lama menunggu balasan pesan singkatmu. Tanpa gelisah
tak menentu. Kau mengajariku itu. Membiarkan rasa rindu terus menggantung di
dimensi bernama pikiran. Agar aku tak manja. Dan agar aku tak menghabiskan
waktu menunggu dengan hal yang sia-sia. Diakah? diakah yang Kau tulis namanya
bersamaku di lembaran takdir milikMu? Diakah yang tangannya akan menggengam
tangan ayahku dan membuatku berpindah posisi dari anak ayah menjadi seorang
istri? Semoga hari ini adalah jawabannya.
//Jam 4 sore ya di
tempat biasa. Ada yang ingin kusampaikan. :) //
// OK. //
Pesan singkatnya membuat aku gelisah.
Membayangkan dia mengucapkan kalimat lamaran. Membayangkan pipiku memerah
malu-malu. Dan menjawabnya dengan yakin bahwa aku mau. Bayangan-banyangan ini
membuatku lupa bahwa waktu terus berjalan. Jam dinding menjadi menyebalkan karena
rasanya dia berlari lebih cepat ke angka empat. Hingga akhirnya aku sudah
berada di sini. Lebih cepat 5 menit darimu yang berlari-lari kecil menghampiri
meja nomor 19.
“ Maaf terlambat, kamu sudah lama?”
katanya tersenyum sambil menarik kursi. Duduk.
“Baru lima menit, santai saja.” Jawabku
membalas senyumnya.
Sambil menunggu pesanan masing-masing.
Kita bicara banyak hal. Layaknya sahabat lama yang tidak pernah bertemu.
Tertawa dan kaget saat ada hal baru yang baru kita dengar. Membicarakan alasan
kau datang terlambat, kerjaan kantor yang semakin banyak, rencana liburan akhir
tahun, hingga masalah jodoh. Inilah yang paling kutunggu. Semoga saja pembicaraan berikutnya seperti yang
kuharapkan.
“Sebenarnya kalau bicara masalah jodoh aku
masih abu-abu. Masih meraba-raba siapa dan seperti apa dia kelak.” Diam
sejenak. Dia menunduk, seolah memikirkan sesuatu. Bercerminlah. Aku disini siap
memantulakan banyanganmu. Bukankan jodoh sangat mirip dengan diri kita? Aku
siap jadi cerminmu. Dia mulai bicara lagi. Dengan masih menunduk.
“Tapi aku merasakan sesuatu yang lain kala
kita bersama.” Dia mulai mengangkat kepalanya. “Kau pasti sudah mersakannya
bukan? Ada rasa yang lebih dari sekedar sahabat di antara kita.” Aku mulai
menata diri. Agar tidak terlihat terlalu canggung. Tidak pula terlihat bodoh
dan terlalu berharap. Lanjutkan,,lanjutkan.
“Aku rasa kita bisa menjadi lebih.” Aku
hanya diam dan memberi tatapan yang mengisyaratkan sebuah pertanyaan. Dengan
mengkerutkan dahi dan memincingkan mata. Lanjutkan,
batinku menyeruak.
“Begini. Bisakah kita menjadi lebih dari
sahabat?” Susah sekali kau bicara, sesusah aku menyembunyikan rasa. Bibirku
serasa tertarik ke atas. “Kita.” Hening sebentar. “Jadi sepasang kekasih.”
“Kekasih?” tak tahan aku diam.
“Ya, sebutlah itu pacaran.” Senyumnya
lebar sekali.
“Pacaran?” wajahnya yang bahagia semakin
bergeser ke mimik muka penuh pertanyaan. Apa
ada yang salah? Aku bingung menjelaskannya. Yang ku inginkan pernikahan. Aku
ingin menyempurnakan ibadahku. Bukan yang lain.
“Datanglah ke rumah bersama keluargamu,
jika kau berkenan.” Aku memakai kalimat lain yang bermakna sama. Lamarlah aku. Kita menikah.
“Maksudmu menikah?” Wajahnya tiba-tiba
syok. Apa yang salah. Ku jawab dengan
raut muka. “Kamu terlalu cepat, Sarah. Menikah itu tanggung jawab yang besar.
Keluarga, anak, rumah. Masih banyak yang harus kita kejar.”
“Kita bisa mengejar yang lain disaat yang
bersamaan.”
“Ya, paling tidak dengan tidak menikah
dulu. Pendekatan juga perlu bukan? kita pacaran dulu lah, dua tiga tahun.”
“Aku kira kita satu pemahaman, bukankan
sudah jelas mana yang dihitung ibadah dan mana yang tidak. Aku tidak mau
menghabiskan tahuanan bersamamu hanya untuk hal lain. Pengenalan. Masih kurang?”
“Tapi, kita kan ngga ngapa-ngapain.” Diam
kembali merajai. Namun pikiran kita berbicara banyak hal. “Maaf, jika untuk
menikah aku tidak siap dan belum berpikir ke sana. Sebaiknya kita berteman saja
dulu.” Hening kembali menyeruak. Bahkan ucapan terimakasih lenyap saat
pramusaji datang meletakan secangkir kopi dan segelas susu putih hangat. Dia
mulai resah.
“Aku belum siap.” Aku hanya bisa menunduk.
Sama dengannya. Tapi sedetik kemudian dia beranjak berdiri. Membuat kepalaku
ikut mendongak. “Rasanya ada yang perlu sama-sama kita pikirkan. Aku permisi.”
Dia mulai melangkah, berbalik arah dan berjalan ke pintu keluar.
Aku membiarkannya pergi. Tanpa sekalipun
memanggilnya dengan lantang atau hanya dalam diam. Bukankah sebuah kalimat
dalam puisi atau prosa membutuhkan spasi diantara kata-katanya. Agar bisa
terbaca. Agar bermakna. Maka, itulah kita. Aku akan membuat jarak dan jeda
diantara kita. Karena aku masih yakin itu kamu. Yang tertulis nanti di undangan
pernikahanku. Aku hanya perlu menunggu. Menunggumu berbalik arah dan
menjadikanku cerminmu.
#ShortStory
Tidak ada komentar:
Posting Komentar