Rabu, 19 Oktober 2011

Ini tentang Aku dan Mereka

Air mata boleh berjatuhan tapi langkahku harus tetap tegar.
Malam itu sudah 8. Tinggal 4 untuk berganti hari.
Berjalan sendiri di jalan lurus menuju rumah kedua. Hatiku sesak, penuh gejolak. Bukan karena kau tapi karena mereka.
Aku belum bisa menyebutnya “kita” aku masih menyebutnya “mereka”
Bahkan setelah lebih dari dua generasi bersama, aku masih menganggap kita beda.

Awal aku melangkah masuk. Masih takut-takut. Takut melihat orang baru. Melihat mereka seperti melihat seorang professional. Dan benar mereka memang professional. Caranya bicara, caranya melihat sekitar. Tak hanya dengan mata, tapi dengan pikiran dan hati.

Kukira yang mereka kerjakan seperti yang kukerjakan dulu. Santai, tanpa banyak berpikir. Tapi disini lain ternyata, berpikir adalah sesuatu yang selalu ada di tiap nafas. Tiap hari, tiap waktu. Aku kaget dengan ini. mencoba menyesuaikan.

Saat semangat masih berkobar. Untuk belajar, untuk mengabdi. Pada “mereka” yang masih belum bisa ku anggap “kita”. Aku merasa mereka memandangku dengan sebelah mata, bukan tapi sekedipan mata. Layaknya debu yang mampir di mata. Dibiarkan sebentar, tak di anggap dan akhirnya tak dihiraukan. Mungkin yang kulakukan tak sehebat yang mereka lakukan. Tapi pengahargaan untuk jerih payah, mengayuh, menunggu, bertanya, menulis, berpikir, mengetik, menghindar dari keluarga, hanya dianggap kosong. Tak dilirik. Tak diteliti. Walau itu sangat penting bagi “kita” pelakunya.

Aku sadar aku kurang. Perlakuan mereka, membuatku merubah arah. Arah yang salah. Yang malah memilih menarik diri. Pergi menjauh dari mereka. Tak dihiraukan juga. Tak mengapa. Karena aku bukan apa-apa. Bukan salah mereka juga. Karena mereka bukan penentu pikirku. Hatiku dan jalanku.

Melihat dan mendengar. Itu menjadi aman. Menghindar dan menjauh. Itu menjadi nyaman. Dengan melihat dan mendengar aku semakin kagum. Dengan dia yang pernah memimpin. Bahasanya. Caranya memotivasi. Kadang membuatku terharu. Termotivasi. Dan semangat lagi untuk bersama “mereka”.

Dilain sisi. Aku melihat hitam. Noda. Yang tak nampak dimuka, namun di simpan di dalam. Banyak, semakin aku mendekat semakin gelap, pekat. Ada di tiap tubuh yang mereka bawa. Noda yang seharusnya kecil, oleh sebagian dari “mereka” di besarkan. Dibuat semakin suram. Tanpa mau membersihkannya.

Banyak belajar. Dari “mereka”. Dari yang “mereka” katakan, lakukan, dan “mereka” pendam. Maaf aku masih belum bisa menganggap kalian “kita”. Berbeda dengan kalian yang selalu bangga mempunyai dan berada didalamnya. Walau aku tak tahu itu nyata atau maya. Itu tulus atau palsu. Tapi aku masih belum bisa. Walau kalian paksa. Ini masalah hati. 

Dan malam ini pertama kalinya aku menangis karna “mereka”. Merasa sedikit menjadi bagian dari “mereka”. Nyesek. Geram. Pedih. Sakit. Memiliki. Dibuang. Direndahkan. Sok akrab. Sok kenal. Basa-basi. Bangga. Tertawa. Palsu. Aku. Kalian. “mereka”.

Sudah. Aku putuskan. Untuk “mereka” yang hanya tinggal menghitung hari, aku tak boleh menyerah. Walau air mata tumpah. Ini untuk “mereka”. Tak harus besar. Tapi kecil saja. Tak harus “kita”. Tapi “mereka” saja.

Sudah. Aku lelah. Terimakasih.

teman