Jumat, 01 November 2019

Melebarkan Hati

Ajak aku belajar lagi. Akhir-akhir ini aku mudah sekali emosi. Melihat orang berlari aku iri. Memandang orang bersantai aku ingin bertukar posisi. Menatap orang tergelak aku mau memaki. Rasanya aku butuh kamu lagi, untuk belajar hidup yang lebih sederhana dari ini.

Katamu, bercerminlah pada waktu. Aku tentu saja tak tau maksudmu, seperti yang dulu-dulu. Yang kalau mengucap kata, kamu selalu saja membuatku harus berkeras untuk menemukan maksud yang kamu mau. Hanya sunggingan bibir yang kadang kamu berikan untuk menutup buku pelajaran hari itu. Namun hari ini tak sama. Kamu benar-benar takut melihatku yang nampak sudah mulai menyempit hatinya untuk bisa bersabar tanpa menggerutu.

Kamu membagi waktu menjadi lima dimensi. Satu, saat aku terpenjara dalam nyaman dan lupa putaran masa. Dua, saat aku takut, gelisah, dan tidak nyaman. Tiga, saat kepercayaan kepada manusia sudah terperosok hampir hilang. Empat saat aku murah mengumbar hinaan dan umpatan. Dan lima, saat aku memilih apatis pada keadaan. Baiklah, nampaknya menjadi pendengar yang santun lebih berguna daripada ucapan terimakasih.

Satu, saat terpenjara dalam nyaman dan lupa putaran masa. Kala itu duniaku dipenuhi tawa, dihadirkan rasa bahagia, dilingkupi dengan rutinitas yang tanpa usaha keraspun masih berjalan baik-baik saja. Kehidupan terasa wajar, tidak ada tantangan dan malas untuk mencoba hal yang lebih. Karena pikiran sudah diredam oleh rasa tentram dan memandang pergolakan hanya milik mereka yang bermasalah, kegelimangan hanya cerita dongeng yang tak terjamah dan sepakat dimiliki orang yang memang pantas. Lalu kamu memberiku penanda waktu. Aku tak percaya, ternyata aku lupa pada pusaran masa yang terus berlalu. Sia-sia waktu yang aku lewati dengan hidup tanpa masalah untuk lebih peka, dan tanpa impian yang membuat hanya jalan ditempat.

Dua, takut, gelisah dan tidak nyaman. Aku mendapati semua yang ada menjadi menakutkan. Takut kurang, takut perih, takut hilang dan tak terganti. Aku merasakan kegelisahan yang mengekor sepanjang hari. Membanding-bandingkan materi, merasa terus diawasi, terkungkung dalam ruang dengan batas-batas yang diciptakan bukan oleh diri sendiri. Maka sekali lagi kamu beri aku penanda waktu. Aku jadi sadar, kalau rasa takut hanya menyamarkan dimensi. Aku merasa waktu melambat, namun ternyata bergerak semakin cepat. Pikirku gelisah itu seperti hari tanpa ujung, namun ternyata mengelabui puluhan malam yang berlalu tanpa memberi tahu.

Tiga, saat kepercayaan pada manusia sudah terperosok hampir hilang. Apa yang lebih menyakitkan dibanding saat semua manusia hanya berkata dusta? Tak lagi terlintas ada rasa percaya. Mencari pembenaran atas kesalahan yang mereka perbuat. Bersekongkol dengan bohong, meyakinkan dengan kibulan. Aku berada dalam pertanyaaan, apa yang membuatmu tega berkata hal yang palsu? Hal yang kau ada-adakan tanpa tau memang benar nyata atau hanya ilusi yang kau buat sendiri. Bahkan saat itu, perilakumu yang benarpun membuatku ragu untuk memberi percaya walau hanya dengan anggukan. Lagi-lagi kamu memberiku penanda waktu. Kering sudah pikiranku. Harusnya aku bisa lebih belajar pada waktu. Yang ternyata mampu mengajarkan untuk mengulang peristiwa serupa, yang bisa dijadikan pemandu jalan untuk menyimpulkan sikap mana yang benar tulus, orang mana yang bisa diyakini, dan arah mana yang dipilih untuk membuatku bisa mencoba percaya sekali lagi.

Empat, saat murah mengumbar hinaan dan umpatan. Tak ada yang lebih bisa meluapkan amarah jika bukan dengan hinaan. Akan terasa kemenangan dan kebanggaan dengan menempatkan orang lain lebih rendah dan hina. Akan muncul rasa jumawa jika umpatan bisa menusuk-nusuk harga diri orang yang ingin kita pecundangi. Benarkah rasa puas yang kau dapati? Tanyamu berulang kali. Sindiran yang kau lesakkan tanpa tau berapa banyak kepingan hati sudah berserakan kala terdengar walau hanya bisikan. Benarkah rasa puas yang kau dapati? Katamu sekali lagi. Rasanya aku mulai mengerti. Waktu sekali lagi mengelabui. ia memilihkan sifat tidak dewasa agar kita lupa diri. Lupa bahwa waktu kita didunia terlalu sempit hanya untuk marah, menghina dan mengumpat. Nyatanya waktu tak hanya menyadarkan tapi juga suka melenakan.

Lima, saat memilih apatis pada keadaan. Bukankah peduli pada orang lain menyia-nyiakan waktu? Empati pada tragedi membuat lelah? Bahkan berusaha mendengarkan saja seperti tercuri hilang waktu yang tersisa. Aku ingin terasing tanpa harus simpati. Aku ingin senyap dengan membungkam riuh yang makin pekat. Aku ingin berjalan lurus tanpa memandang sekitar. Ramah, bukan lagi urusan. Beda, tak lagi aku perhatikan. Namun waktu menyadarkan kembali. Aku hanya kosong sendirian. Yang ramai ternyata suara pikiran, bukan orang. Yang pikuk ternyata gerakan badan, bukan insan. Ternyata aku sendirian tak berkawan. Suara detak jarum waktu membangunkan, bahwa keberadaanku nyatanya berguna. Telingaku bisa memberi ruang bagi mulut manusia lain yang sedang tercurah kisah hidupnya. Tanganku bisa menepuk pundak manusia lain agar bisa berdiri tegak saat ia mulai menyerah.

Masih mau dikendalikan emosi? Tanyamu tanpa basa-basi. Aku cuma menggeleng, tersenyum dan malu sendiri. Ternyata ini maksudmu. Kini mulai meluruh, paham dan mengerti. Waktu itu pengingat masa lalu, sekarang dan nanti. Untuk bisa lebih bijak dan tidak bertindak tanpa referensi. Cukuplah bercermin pada waktu untuk tau perilaku mana yang pantas kita suguhkan. Dan kamu juga bilang, pelengkapnya adalah melebarkan hati. Lapang dada, penangkal terkuat saat emosi mulai mendekat.


teman