Jumat, 01 November 2013

Apa Kabar?

Malam ini adalah purnama ke tujuh aku pergi meninggalkan rumah. Purnama yang biasa menemani kini sedang bersembunyi di lapisan awan hitam, dan aku hanya bisa bergerak tak tentu arah. Mondar-mandir. Duduk-berdiri-tiduran. Kosong. Ada yang sedang kucari. Saat pandanganku berpendar di meja biasa aku bekerja, sebuah senyuman tiba-tiba mengagetkanku. Seperti biasa aku selalu merasa dipandangi dan diperhatikan oleh foto yang subjeknya melihat kamera saat diambil gambarnya. Itulah yang kurasakan lagi sekarang. Senyuman difoto itu seakan sedang bicara padaku. Senyuman hangat itu terus kupandangi. Namun aku tak kuat beradu tatap, walau hanya lewat sebuah foto. Dia selalu menang, dan aku kalah. Malah sekarang mulai mengalir hujan di pelupuk mata. Mendahului alam yang masih pekat oleh awan hitam. Ingatanku berjalan ke moment-moment indah saat bersamaya. Setahun yang lalu, empat tahun yang lalu, bahkan 14 tahun yang lalu saat aku masih berseragam merah putih.

“Jangan marah ya Pak. Maaf.” Kataku seraya berkaca-kaca. Tak mau tumpah air mata di depanmu. Kala itu aku sedang berlatih motor denganmu. Dengan ribuan petuahmu. Agar pelan-pelan dan hati-hati. Rating kanan, gigi satu,dua, rem. Tapi dasar aku yang bodoh karena kaget melihat ayam lewat, bukannya kuinjak rem tapi malah ku gas dengan keras motor itu. Alhasil pohon tak bersalahpun jadi korbannya. Dan yang membuatku sedih adalah lampu depannya rusak. Aku tahu motor itu adalah motor kesayanganmu.
Rapopo. Ora rusak kok.” Katamu sambil ,melihat lampu depan motor. Memang tak parah, tapi aku tahu ini adalah motor kesayanganmu Pak. Berapa kali kau bercerita, membanggakannya bahwa dia adalah teman sejatimu. Sahabat setiamu dari kakak-kakak masih bayi merah. Merawatnya sama sepertiku. Dan aku hari ini yang baru mulai berkenalan, sok bisa naik motor malah menyakitinya.
Wis kono mlebu. Rapopo kok.” Katamu lagi, mulai menangkap ketidakenakan hatiku. Kau tahu Pak? Hari ini aku manangis sendiri di kamar. Kata-katamu seharian mengiang-ngiang layaknya suara penyanyi dangdut di tape orang nikahan yang suaranya memenuhi desa. Bahkan hari ini ketika aku mengingatnya aku masih sedih saja. Motor itu masih? Tentu saja. Kau masih merawatnya hingga kini. Layaknya bayi yang tak pernah tumbuh besar. Apa kabar si hitam, Pak? Masih bisa kan aku dan cucumu kau bonceng berkeliling kota bersamanya? Kau sendiri apa kabar, Bapak? Maaf lebaran ini anakmu tidak bisa pulang.

Kupandangi lagi foto itu. Awal bulan lalu kau menelefon. Setelah SMSmu belum sempat kubalas karena aku yang sok sibuk dengan kerjaan. Kau bertanya, “Lebaran H- berapa pulangnya Nduk?” tentu saja dengan terbata-bata seperti biasa suaramu ditelefon.
Diam sejaenak. “ Bapak, aku nggak bisa pulang lebaran ini.” ucapku perlahan.
Lha ngopo?” katamu keras. “Apa setelah lebaran pulangnya? Mau lebaran di mertua dulu? H+2, apa H+3?”
Mboten, Pak.” Hening. “Ada tugas kantor. Liputan lebaran.”
“Oh..yo wis ati-ati yo Nduk. Mas sama mbakmu kemarin ngabari juga ngga bisa pulang. Nanti lebaran sepi yo.” Katamu menahan tangis, suaramu mulai lirih. Tak seperti biasa kau melakukan ini, membuatku merasa tidak enak. Kau pasti sangat kesepian setelah kepergianku beberapa bulan yang lalu.
Aku hanya bisa terdiam beberapa saat disini. Mengusap air mata yang keluar terus menerus dan hidung yang mampet. Suaraku harus senormal mungkin.
“ Halo…halo…” katamu
Nggih, Pak. Mangkih kalo bisa saya izin Pak.”
“Alhamdulillah!!” katanya keras sekali. Sulit sekali menjaga suara tetap stabil. Memberinya harapan sedikit saja sudah membuatnya sangat gembira. Walau tak tahu izin pulang bisa didapat atau tidak.
Sampun nggih Pak telfon-e, mangkih melih.” Aku sudah tidak kuat.
“Yo,,Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Ojo lali izin yo.” Hening. “Bapak kangen.”
Tut…tut..tut..
Kata-kata terakhirnya. Jarang diucapkan. Sengaja dia simpan di akhir telefon dan langsung ditutup. Bapak, kau selalu sama. Membuatku ingin segera minta izin untuk pulang.
Pulang

2 komentar:

teman